MAKALAH (Resusitasi jantung paru pada kegawatan kardiovaskular)
RESUSITASI
JANTUNG PARU
PADA
KEGAWATAN KARDIOVASKULER
I. Pendahuluan
Istilah resusitasi atau reanimasi
di dalam kamus-kamus diartikan sebagai menghidupkan kembali atau memberi hidup
baru. Dalam arti luas resusitasi merupakan segala bentuk usaha medis, yang
dilakukan terhadap mereka yang berada dalam keadaan gawat atau kritis, untuk
mencegah kematian. Kematian di dalam klinik diartikan sebagai hilangnya
kesadaran dan semua refleks, disertai berhentinya pernafasan dan peredaran
darah yang ireversibel. Oleh karena itu resusitasi merupakan segala usaha untuk
mengembalikan fungsi sistem pernafasan, peredaran darah dan saraf, yang
terhenti atau terganggu sedemikain rupa sehingga fungsinya dapat berhenti
sewaktu-waktu, agar kembali menjadi normal seperti semula. Karenanya timbullah
istilah “Cardio – Pumonary – Resuscitation” (CPR) yang dalam bahasa Indonesia
menjadi Resusitasi Jantung Paru (RJP).
Berhasil tidaknya resusitasi
jantung paru tergantung pada cepat tindakan dan tepatnya teknik pelaksanaannya.
Pada beberapa keadaan, tindakan resusitasi tidak dianjurkan (tidak efektif)
antara lain bila henti jantung (arrest) telah berlangung lebih dari 5 menit
karena biasanya kerusakan otak permanen telah terjadi, pada keganasan stadium
lanjut, gagal jantung refrakter, edema paru refrakter, renjatan yang mendahului
“arrest”, kelainan neurologik berat, penyakit ginjal, hati dan paru yang
lanjut.
Permasalahan yang sering kita
hadapi, bagaimana cara menangani kegawatan kardiovaskuler lewat resusitasi
jantung paru dengan tindakan dan teknik pelaksanaan yang tepat.
Tujuan penulisan ini untuk
memberi jawaban pertanyaan di atas secara praktis, sehingga pembaca dapat
mengenal dan melakukan resusitasi jantung paru pada kegawatan kardiovaskuler.
Resusitasi jantung paru pada kegawatan
kardiovaskular
A.
Definisi
Resusitasi mengandung arti
harfiah “Menghidupkan kembali” tentunya dimaksudkan usaha-usaha yang dapat
dilakukan untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian
biologis.
B.
Klasifikasi
Resusitasi jantung paru terdiri atas 2 komponen
utama yakni,
- Bantuan
hidup dasar / BHD adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan nafas
(airway) tetap terbuka, menunjang pernafasan dan sirkulasi dan tanpa
menggunakan alat-alat bantu. Usaha ini harus dimulai dengan mengenali
secara tepat keadaan henti jantung atau henti nafas dan segera memberikan
bantuan sirkulasi dan ventilasi. Usaha BHD ini bertujuan dengan cepat
mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya
sambil menunggu pengobatan lanjutan. Pengalaman menunjukkan bahwa
resusitasi jantung paru akan berhasil terutama pada keadaan “henti
jantung” yang disaksikan (witnessed) dimana resusitasi segera dilakukan
oleh orang yang berada di sekitar korban.
- Bantuan
hidup lanjut / BHL adalah usaha yang dilakukan setelah dilakukan usaha
hidup dasar dengan memberikan obat-obatan yang dapat memperpanjang hidup
pasien. (3)
- Tunjangan
Hidup Terus Menerus.
C.
Etiologi henti jantung dan nafas
Beberapa penyebab henti jantung dan nafas adalah,
- Infark
miokard akut, dengan komplikasi fibrilasi ventrikel, cardiac standstill,
aritmia lain, renjatan dan edema paru.
- Emboli
paru, karena adanya penyumbatan aliran darah paru.
- Aneurisma
disekans, karena kehilangan darah intravaskular.
- Hipoksia,
asidosis, karena adanya gagal jantung atau kegagalan paru berat,
tenggelam, aspirasi, penyumbatan trakea, pneumothoraks, kelebihan dosis
obat, kelainan susunan saraf pusat.
- Gagal
ginjal, karena hiperkalemia
Henti jantung biasanya terjadi
beberapa menit setelah henti nafas. Umumnya, walaupun kegagalan pernafasan
telah terjadi, denyut jantung masih dapat berlangsung terus sampai kira-kira 30
menit. Pada henti jantung, dilatasi pupil kadang-kadang tidak jelas. Dilatasi
pupil mulai terjadi 45 detik setelah aliran darah ke otak terhenti dan dilatasi
maksimal terjadi dalam waktu 1 menit 45 detik. Bila telah terjadi dilatasi
pupil maksimal, hal ini menandakan sudah terjadi 50 % kerusakan otak
irreversibel.
D.
Diagnosis
1. Tanda-tanda henti jantung
- Kesadaran
hilang (dalam 15 detik setelah henti jantung)
- Tak
teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa atau
brakialis pada bayi)
- Henti
nafas atau mengap-megap (gasping)
- Terlihat
seperti mati (death like appearance)
- Warna
kulit pucat sampai kelabu
- Pupil
dilatasi (setelah 45 detik). (4)
2. Diagnosis henti jantung sudah dapat ditegakkan
bila dijumpai ketidak sadaran dan tak teraba denyut arteri besar
- Tekanan
darah sistolik 50 mmHg mungkin tidak menghasilkan denyut nadi yang dapat
diraba.
- Aktivitas
elektrokardiogram (EKG) mungkin terus berlanjut meskipun tidak ada
kontraksi mekanis, terutama pada asfiksia.
- Gerakan
kabel EKG dapat menyerupai irama yang tidak mantap.
- Bila
ragu-ragu, mulai saja RIP. (4)
E.
Penatalaksanaan henti jantung dan nafas
Resusitasi jantung paru hanya dilakukan pada penderita yang mengalami henti jantung atau henti nafas dengan hilangnya kesadaran.oleh karena itu harus selalu dimulai dengan menilai respon penderita, memastikan penderita tidak bernafas dan tidak ada pulsasi. (3) Pada penatalaksanaan resusitasi jantung paru harus diketahui antara lain, kapan resusitasi dilakukan dan kapan resusitasi tidak dilakukan.
Resusitasi jantung paru hanya dilakukan pada penderita yang mengalami henti jantung atau henti nafas dengan hilangnya kesadaran.oleh karena itu harus selalu dimulai dengan menilai respon penderita, memastikan penderita tidak bernafas dan tidak ada pulsasi. (3) Pada penatalaksanaan resusitasi jantung paru harus diketahui antara lain, kapan resusitasi dilakukan dan kapan resusitasi tidak dilakukan.
1. Resusitasi dilakukan pada :
- Infark
jantung “kecil” yang mengakibatkan “kematian listrik”
- Serangan
Adams-Stokes
- Hipoksia
akut
- Keracunan
dan kelebihan dosis obat-obatan
- Sengatan
listrik
- Refleks
vagal
- Tenggelam
dan kecelakaan-kecelakaan lain yang masih memberi peluang untuk hidup.
2. Resusitasi tidak dilakukan pada :
- Kematian
normal, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang
berat.
- Stadium
terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan lagi.
- Bila hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah ½ – 1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP. (4)
A. Bantuan Hidup Dasar
Airway (jalan nafas)
Berhasilnya resusitasi tergantung dari cepatnya
pembukaan jalan nafas. Caranya ialah segera menekuk kepala korban ke belakang
sejauh mungkin, posisi terlentang kadang-kadang sudah cukup menolong karena
sumbatan anatomis akibat lidah jatuh ke belakang dapat dihilangkan. Kepala
harus dipertahankan dalam posisi ini.
Bila tindakan ini tidak menolong, maka rahang bawah
ditarik ke depan.
Caranya ialah,
- Tarik
mendibula ke depan dengan ibu jari sambil,
- Mendorong
kepala ke belakang dan kemudian,
- Buka
rahang bawah untuk memudahkan bernafas melalui mulut atau hidung.
- Penarikan
rahang bawah paling baik dilakukan bila penolong berada pada bagian puncak
kepala korban. Bila korban tidak mau bernafas spontan, penolong harus
pindah ke samping korban untuk segera melakukan pernafasan buatan mulut ke
mulut atau mulut ke hidung. (5, 6, 7)
Breathing (Pernafasan)
Dalam melakukan pernafasa mulut ke mulut penolong
menggunakan satu tangan di belakang leher korban sebagai ganjalan agar kepala
tetap tertarik ke belakang, tangan yang lain menutup hidung korban (dengan ibu
jari dan telunjuk) sambil turut menekan dahi korban ke belakang. Penolong
menghirup nafas dalam kemudian meniupkan udara ke dalam mulut korban dengan
kuat. Ekspirasi korban adalah secara pasif, sambil diperhatikan gerakan dada
waktu mengecil. Siklus ini diulang satu kali tiap lima detik selama pernafasan
masih belum adekuat.
Pernafasan yang adekuat dinilai tiap kali tiupan
oleh penolong, yaitu perhatikan :
- gerakan
dada waktu membesar dan mengecil
- merasakan
tahanan waktu meniup dan isi paru korban waktu mengembang
- dengan
suara dan rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi.
- Tiupan
pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa menunggu paru korban
mengecil sampai batas habis. (5)
Circulation (Sirkulasi buatan)
Sering disebut juga dengan Kompresi Jantung Luar
(KJL). Henti jantung (cardiac arrest) ialah hentinya jantung dan peredaran
darah secara tiba-tiba, pada seseorang yang tadinya tidak apa-apa; merupakan
keadaan darurat yang paling gawat.
Sebab-sebab henti jantung :
- Afiksi
dan hipoksi
- Serangan
jantung
- Syok
listrik
- Obat-obatan
- Reaksi
sensitifitas
- Kateterasi
jantung
- Anestesi.
(5)
Untuk mencegah mati biologi (serebral death),
pertolongan harus diberikan dalam 3 atau 4 menit setelah hilangnya sirkulasi.
Bila terjadi henti jantung yang tidak terduga, maka langkah-langkah ABC dari
tunjangan hidup dasar harus segera dilakukan, termasuk pernafasan dan sirkulasi
buatan.
Henti jantung diketahui dari :
- Hilangnya
denyut nadi pada arteri besar
- Korban
tidak sadar
- Korban
tampak seperti mati
- Hilangnya
gerakan bernafas atau megap-megap.
Pada henti jantung yang tidak diketahui, penolong
pertama-tama membuka jalan nafas dengan menarik kepala ke belakang. Bila korban
tidak bernafas, segera tiup paru korban 3-5 kali lalu raba denyut a. carotis.
Perabaan a. carotis lebih dianjurkan karena : (5)
- Penolong
sudah berada di daerah kepala korban untuk melakukan pernafasan buatan
- Daerah
leher biasanya terbuka, tidak perlu melepas pakaian korban
- Arteri
karotis adalah sentral dan kadang-kadang masih berdenyut sekalipun daerah
perifer lainnya tidak teraba lagi.
Bila teraba kembali denyut nadi, teruskan
ventilasi. Bila denyut nadi hilang atau diragukan, maka ini adalah indikasi
untuk memulai sirkulasi buatan dengan kompresi jantung luar. Kompresi jantung
luar harus disertai dengan pernafasan buatan.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan ABC
RJP tersebut adalah,
- RJP
jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun
- Tidak
perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali bila ia
sudah stabil
- Jangan
menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat berakibat
robeknya hati
- Diantara
tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat pada sternum,
jari-jari jangan menekan iga korban
- Hindarkan
gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan tidak terputus
- Perhatikan
komplikasi yang mungkin karena RJP. (5)
ABC RJP dilakukan pada korban yang mengalami henti
jantung dapat memberi kemungkinan beberapa hasil,
- Korban menjadi sadar kembali
- Korban dinyatakan mati, ini dapat disebabkan
karena pertolongan RJP yang terlambat diberikan atau pertolongan tak
terlambat tetapi tidak betul pelaksanaannya.
- Korban belum dinyatakan mati dan belum timbul
denyut jantung spontan. Dalam hal ini perlu diberi pertolongan lebih
lanjut yaitu bantuan hidup lanjut (BHL). (4)
B. Bantuan Hidup Lanjut
Drugs
Setelah penilaian terhadap hasil bantuan hidup
dasar, dapat diteruskan dengan bantuan hidup lanjut (korban dinyatakan belum
mati dan belum timbul denyut jantung spontan), maka bantuan hidup lanjut dapat
diberikan berupa obat-obatan. Obat-obatan tersebut dibagi dalam 2 golongan
yaitu,
1. Penting, yaitu :
- Adrenalin
- Natrium
bikarbonat
- Sulfat
Atropin
- Lidokain
2. Berguna, yaitu :
- Isoproterenol
- Propanolol
- Kortikosteroid.
(5)
- Natrium
bikarbonat
Penting untuk melawan metabolik
asidosis, diberikan iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus
ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan
intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus
dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan
hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi
pemberian dengan dosis yang sama.
Adrenalin
Mekanisme kerja merangsang
reseptor alfa dan beta, dosis yang diberikan 0,5 – 1 mg iv diulang setelh 5
menit sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian
O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi ventrikel.
Lidokain
Meninggikan ambang fibrilasi dan
mempunyai efek antiaritmia dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik
dari ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada
perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau
periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas
sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang
berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal
dan episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus,
pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu
1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml
dextrose 5 % larutan (1 mg/ml).
Sulfat Artopin
Mengurangi tonus vagus memudahkan
konduksi atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus
bradikardi. Paling berguna dalam mencegah “arrest” pada keadaan sinus
bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis
yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam interval 5
menit sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total tidak boleh
melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang membutuhkan
dosis lebih besar.
Isoproterenol
Merupakan obat pilihan untuk
pengobatan segera (bradikardi hebat karena complete heart block). Ia diberikan
dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam
500 ml dectrose 5 %), dan diatur untuk meninggikan denyut jantung sampai
kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak
berhasil diatasi dengan Atropine.
Propranolol
Suatu beta adrenergic blocker
yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi
ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme jantung
tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat
diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat.
Kortikosteroid
Sekarang lebih disukai
kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB methyl prednisolon sodium succinate atau 1
mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung
akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema otak setelah henti jantung,
60-100 mg methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan.
Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan
dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.
EKG
Diagnosis elektrokardiografis untuk mengetahui
adanya fibrilasi ventrikel dan monitoring.
Fibrillation Treatment
Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi
ventrikel. Elektroda dipasang sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah
kanan sternum atas.
Keputusan untuk mengakhiri resusitasi
Keputusan untuk memulai dan
mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis, tergantung pada pertimbangan
penafsiran status serebral dan kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik
adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran,
gerakan dan pernafasan spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam
tanpa pernafasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya
menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi selanjutnya biasanya
sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak ada aktivitas
elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10 menit atau lebih
sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat.
0 comments: